Perubahan Iklim Membawa Kekeringan Terburuk di Indonesia Sejak 2015

Perubahan pola cuaca menyebabkan setidaknya 11 Provinsi di Indonesia Selatan sudah lebih dari tujuh bulan tidak turun hujan dan diperkirakan musim kemarau akan berlanjut hingga bulan Desember.
Kota dan Kabupaten di Lampung, Banten, Jawa Barat dan Timur, Yogyakarta, Bali, Nusa Tenggara Barat dan Timur, serta Sulawesi Selatan dan Tenggara belum turun hujan selama lebih dari 61 hari berturut-turut, menurut data Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) per 13 November.
BMKG telah meningkatkan status kekeringan untuk daerah-daerah tersebut ke tingkat awas tertinggi. Hal tersebut berarti akan terjadi hujan dengan intensitas rendah dalam 20 hari berikutnya sebesar 70 persen di daerah-daerah tersebut
Ini adalah musim kemarau terburuk yang pernah dialami Indonesia sejak 2015. Sebagian besar Kabupaten yang terkena dampak telah berbulan-bulan tidak turun hujan. Buleleng di Bali dan Sampang di Jawa Timur belum turun hujan selama lebih dari 216 hari, sementara Sumba Timur di Nusa Tenggara Timur (NTT) yang paling lama tidak turun hujan, yaitu 249 hari.
Status kekeringan dari beberapa daerah di Bali, NTT, Nusa Tengara Barat (NTB), Sulawesi Tenggara dan Maluku, ditempatkan pada waspada, yang berarti bahwa daerah tersebut belum turun hujan selama lebih dari 21 hari berturut-turut dengan prospek sedikit lebih tinggi dari curah hujan intensitas rendah.
Kepala analisis variabilitas iklim BMKG, Indra Gustari mengatakan anomali telah diamati tahun ini, ditandai oleh keterlambatan musim hujan yang tidak akan datang hingga akhir November atau Desember di Indonesia Selatan, termasuk Jawa, Bali, dan Nusa Tenggara.
Fenomena Indian Ocean Dipole
Ini berbeda dengan sebagian besar Sumatera dan Kalimantan yang diperkirakan akan mengalami puncak curah hujan pada periode yang sama. “Ada dua faktor: Pertama adalah fenomena El Nino yang lemah yang sudah kami amati sejak pertengahan tahun lalu hingga juli tahun ini. Namun, faktor yang lebih dominan adalah suhu permukaan laut yang relatif rendah, sebuah fenomena global yang dikenal sebagai ‘Indian Ocean Dipole’ yang positif,” kata Indra kepada The Jakarta Post, Jum’at.
‘Indian Ocean Dipole’ (IOD), kata Indra, mirip dengan El Nino, tetapi terjadi di Samudera Hindia dan bukan Samudera Pasifik. IOD, juga dikenal sebagai Nino India, adalah osilasi suhu permukaan laut yang tidak teratur di mana Samudera Hindia bagian barat menjadi lebih hangat secara bergantian dan kemudia lebih dingin dari pada bagian timur laut. Fenomena tersebut memiliki tiga fase; netral, positif, dan negatif.
IOD positif, yang saat ini sedang diamati, berarti Samudera Hindia bagian timur, yaitu perairan Indonesia, lebih dingin sedangkan perairan barat dekat Afrika lebih hangat.
Fase ini cenderung menyebabkan kekeringan di Indonesia, karena suhu permukaan laut yang rendah memperlambat penguapan air laut dan pembentukan awan, menghasilkan lebih sedikit curah hujan. Indra menambahkan bahwa IOD positif juga memperlambat muson Asia, yang sangat mempengaruhi intensitas curah hujan di negara ini.

Indra mengatakan indeks IOD tercatat sekitar +2,2 pada pertengahan November, tertinggi dalam lima tahun terakhir, termasuk 2015, ketika Indonesia juga mengamati kekeringan parah terutama disebabkan oleh “raksasa” El Nino. Kemudian, indeks IOD direkam di sekitar +1.2.
“Perubahan iklim diyakini berkontribusi untuk memperkuat intensitas, karena suhu global rata-rata terus meningkat,” katanya.
Sebuah laporan tahun 2013 oleh Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) mengungkapkan bahwa lautan telah menyerap lebih dari 93 persen kelebihan panas dari emisi gas rumah kaca sejak tahun 1970-an yang menyebabkan suhu laut meningkat. International Union for Conservation of Nature (IUCN) mengatakan pemanasan laut menyebabkan peristiwa cuaca yang lebih ekstrim.
Hujan akan dimulai lebih lambat
BMKG memperkirakan bahwa di 74 persen zona musim di Indonesia, musim hujan akan dimulai lebih lambat dari rata-rata 30 tahun yang dihitung antara 1981 dan 2010.
Curah hujan Indonesia Selatan diperkirakan akan mencapai puncaknya pada bulan Januari atau Februari, dengan peringatan Indra akan banjir di daerah sekitar waktu itu, serta pada bulan Desember untuk bagian utara Sumatera dan sebagian besar Kalimantan.
Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat setidaknya 256 desa di NTT, Jawa Tengah dan Jawa Barat serta Bali mengalami kekeringan pada hari Jum’at.
Dalam sebuah pernyataan yang dikeluarkan pada hari Jumat, juru bicara BNPB Agus Wibowo mengatakan pemerintah daerah telah mendistribusikan air kepada penduduk mereka menggunakan anggaran daerah mereka dan akan menyediakan dana darurat jika diperlukan.
Agus mengatakan, Kabupaten Timor Tengah Utara di NTT telah meminta dana darurat sebesar Rp 629 juta dan Kabupaten Alor di NTT telah meminta dana sebesar Rp 925 juta.
Menurut lembaga setempat, kedua kabupaten tersebut masing-masing memiliki 99 desa dan 60 desa mengalami kekeringan, tetapi pemerintah Timor Tengah Utara hanya dapat mengeluarkan Rp 100 juta untuk mendistribusikan air ke 20 desa.
“Kami merekomendasikan agar pemerintah daerah menanam pohon di daerah kritis dan di daerah penyimpanan air hujan,” katanya.
Sumber: The Jakarta Post